Assalamu'alaikum.
Tabik pun,
Akhir-akhir ini saya
melakukan hal yang tidak biasa dilakukan. Kesibukan selama bulan kemarin dan
puncaknya bulan ini membuat jenuh merajalela dan untuk meringankannya, saya
berselancar di dunia maya. Biasanya saya mencari tentang artikel ilmiah, namun
kali ini saya membaca berita tentang selebritis. Lucu ya? Tapi saya dapat
sesuatu. Ada berita tentang selebritis yang akhirnya berhasil hamil stelah
penantian selama 10 tahun. Mereka menyebutnya pejuang dau garis biru. Mereka berupaya
dengan berbagai cara. Saya kemudian jadi teringat akan kisah beberapa orang
yang saya kenal yang juga menanti buah hati bertahun-tahun. Ada yang bahkan
sampai menghabiskan uang yang tak terhitung lagi banyaknya. Saya sungguh tertegun.
Saya dan suami tidak perlu
waktu lama untuk mendapatkan buah hati. Alhamdulillah. Memiliki anak adalah
anugerah terindah bagi sebagian besar pasangan yang menikah. Tapi sesungguhnya
memiliki anak bukanlah sebuah prestasi. Anak adalah amanah yang mesti dijaga
dengan sepenuh hati. Hanya saja tak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Sebutan
ibu dan ayah langsung melekat begitu saja. Hal ini menjadi renungan bagi saya. Begitu
mudahnya Allah memberikan kami anak, bahkan ada kekhawatiran akan lahir anak
lagi dan lagi jika tidak dibatasi. Tapi apakah kami sudah menjadi orang tua
yang sehatusnya? Pertanyaan yang sampai saat ini masih harus terus
dipertanyakan, sebagai pengingat agar kami terus belajar menjadi orang tua yang
bisa menjaga, merawat, dan mendidik anak-anak secara baik dan benar.
Menjadi orang tua tidaklah
mudah. Seringkali dihadapkan pada realita yang tak sesuai dengan harapan,
kenyataan yang tak semudah angan-angan. Tantangan komunikasi produktif Ibu
Profesional Batch #6 ini memaksa saya untuk belajar menghadapi kenyataan yang
tak sesuai harapan tadi. Saya termasuk orang yang jarang berbicara. Saya lebih
suka menuliskan perasaan saya dari pada membicarakannya. Ketika saya jadi
seorang ibu, saya menjadi orang yang banyak bicara. Kadang terjadi kesalahan
pada saat berkomunikasi dengan suami maupun anak-anak. Saya menyampaikan apa
yang ada di pikiran maupun perasaan dengan serta merta, karena mungkin tidak
terbiasa unuk menyusun kalimat dengan pilhan kata yang tepat dalam waktu
singkat. Tidak ada tombol hapus saat kalimat keluar dari mulut.
Hari ini saya mencoba untuk
fokus pada solusi bukan pada masalah dalam komunikasi produktif. Tanpa sadar,
kadang kita terlalu dikuasai oleh ego diri atau mungkin emosi sesaat. Sehingga kalimat
yang keluar dari mulut kita adalah kalimat yang tdak atau kurang tepat. Maksud hati
ingin menanamkan nilai yang baik pada diri anak, namun yang terjadi kita
memberikan contoh yang tidak baik pada anak. Astaghfirullah. Saya mencoba untuk
tidak melakukan kesalahan komunikasi yang seperti tiu lagi.
“Ummi penghapus aku mana?”
Tanya si sulung.
“Kamu menaruhnya di mana? Saya
bertanya balik.
“Aku kemarin taruh di sini,
di atas meja. Tapi sekarang gak ada.” Jawab si sulung sedikit kesal.
“Kamu sih kalau punya barang
ditaruh sembaragan. Pas kamu mau pakai bingung nyarunya. Makanya naruh
penghapus, pensil, alat-alat tulis itu di tempatnya.” Saya mencercau.
Percakapan seperti itu yang
sering saya lakukan sebelumnya. Niat saya baik, agar si sulung menaruh barang
miliknya di tempat yang sudah disediakan, tidak sembarangan. Namun dengan
kalimat cercauan saya itu malah membuat suasana menjadi tidak nyaman. Si sulung
kesal karena tak menemukan barang yang dicari. Sudah tentu si sulung tidak
dapat pesan baik yang ingin saya sampaikan. Saat itu saya hanya fokus pada
masalah bukan solusi. Hari ini saya mencoba memperbaiki pilihan kata saya.
“Ummi, mobilan remot aku
mana?” Tanya si sulung.
“Kamu taruh di kamar, kan?” Saya
memastikan.
“Iya, tapi gak ada.” Timpal si
sulung.
“Coba kamu tanya abi,
mungkin disimpan abi.” Usul saya.
Beberapa menit berlalu, si
sulung sudah memegang mobilan dan remotenya.
“Mas, mobilannya ketemui di
mana? Tanya saya.
“Di lemari. Abi yang naro.”
Jawab si sulung.
“Nanti selesai kamu main,
mobilan dan remotenya taruh lagi di lemari ya.” Saya mengingatkan.
“Iya, Ummi.” Si sulung
menanggapi dengan ceria.
Yeay. Alhamdulillah sepertinya
pesan tersampaikan dengan baik. Memang sudah sepantasnya orang tua mengingatkan
anaknya selalu. Jika anak lupa, diingatkan dengan cara yang baik, semoga dia
tidak mengulang kesalahan yang sama. Niat yang baik, dilakukan dengan cara yang
baik, maka hasilnya sudah tentu baik. Sebaiknya niat yang baik, jika
disampaikan dengan cara yang kurang atau tidak baik, maka hasilnya tentu tidak
baik. Bintang 4 untuk tantangan pertama komunikasi produktif hari ke-6. Semoga esok
lebih baik lagi.
Baca juga:
Tantangan Pertama Bunda Sayang Hari Ke-5
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar yang sopan ya :)
Jangan lupa follow IG @ummi_lilihmuflihah dan Twitter @UmmiLilih